Mendengar kata merek atau brand, mungkin hal yang terlintas dalam benak adalah merek barang atau jasa yang populer dan/atau biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.

Sebenarnya praktik branding sudah dikenal berabad-abad. Dulu petani memberi cap atau tanda pada hewan ternak untuk membedakan mana ternak mereka dan mana ternak milik orang lain. Dengan cap seperti ini konsumen menjadi lebih mudah mengidentifikasi ternak yang berkualitas yang ditawarkan oleh petani.

Pada abad pertengahan, Inggris mengesahkan Undang-Undang Merek pertama di dunia. Selama masa revolusi industri (1830 – 1914) merek sebagai identitas pemanufaktur berkembang pesat didukung oleh beberapa faktor misalnya kemajuan teknologi produksi, transportasi, dan komunikasi. Memasuki abad ke-20 hukum merek dagang (trademark law) menjadi lebih mapan.

Begitu banyak merek produk dari dalam maupun luar negeri yang sudah melekat di masyarakat bahkan hingga berpuluh-puluh tahun. Misalnya merek salah satu produk mode terkenal di dunia yaitu Gucci. Logo Gucci didesain oleh keluarga Gucio Gucci pada tahun 1933. Sekarang merek tersebut menjelma menjadi logo ikonis dunia.

Fungsi dan Manfaat Merek Dagang

Keunikan dan jaminan mutu menjadikan suatu produk mudah dikenal oleh masyarakat. Dengan menggunakan merek, perusahaan dapat meraup banyak keuntungan. Namun, merek tidak dapat berdiri sendiri. Merek harus sesuai dengan komponen lainnya seperti harga, promosi, dan kualitas produk. Merek dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk membeli suatu barang dan/atau jasa.

Untuk menentukan penilaian sebagian orang terhadap suatu produk, pertama kali dapat dilakukan dengan menyebut merek. Seseorang dapat memberikan nilai baik terhadap suatu produk berdasarkan informasi dari orang lain atau media walaupun orang tersebut belum pernah mencoba, menggunakan, atau memakai produk tersebut.

Sifat unik itulah yang menjadikan merek memiliki nilai dan kekuatan untuk menarik konsumen. Selain itu, merek juga dikategorikan sebagai harta tak berwujud karena ia memiliki nilai namun tidak memiliki substansi fisik dan masa kegunaannya tidak terbatas.

Keutuhan suatu merek dapat rusak oleh beberapa jenis pelanggaran misalnya peniruan, pemalsuan, dan pemakaian merek tanpa hak terhadap merek-merek tertentu. Terdapat beberapa kasus pelanggaran terhadap merek di Indonesia. Salah satu yang mencuat di media pada pertengahan tahun 2022 adalah sengketa merek yang melibatkan dua perusahaan kosmetika nasional.

Kedua pihak yang terlibat saling mengeklaim dan saling melapor ke Pengadilan Niaga bahwa merek produk lawan mirip dengan merek produk mereka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa merek adalah melalui gugatan di pengadilan atau penyelesaian sengketa alternatif seperti arbitrase.

Untuk mencegah terjadinya sengketa, merek dapat didaftarkan melalui laman www.dgip.go.id Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI. Setelah terdaftar, merek tersebut dapat dijadikan alat bukti bagi pemilik hak merek sehingga dapat dijadikan dasar penolakan terhadap merek yang sama secara keseluruhan atau sama pada pokoknya dan mencegah orang lain memakai merek yang sama. Merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek dan dapat diperpanjang.

Royalti atas Merek Dagang

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, imbalan sehubungan dengan penggunaan hak atas penggunaan harta tak berwujud berupa paten, merek dagang, formula atau rahasia perusahaan disebut royalti.

Royalti dikenakan PPh. Dasar pengenaan pajak atas royalti adalah jumlah bruto dikenakan tarif sebesar 15%. Apabila penerima penghasilan atas royalti tidak mempunyai NPWP, tarif naik 100% menjadi 30%. Saat terutang PPh Pasal 23 atas royalti adalah penandatanganan kontrak/perjanjian atau faktur atas royalti.

Pembayar royalti wajib memotong PPh Pasal 23 sebelum menyetorkan royalti kepada penerima royalti. Pembayar Royalti membuat bukti potong melalui aplikasi e-Bupot PPh Pasal 23. Lalu menyetor PPh dengan terlebih dahulu membuat kode billing (MAP 411124 dan Kode Jenis Setoran 103).

PPh Pasal 23 harus disetor paling lambat tanggal sepuluh bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Adapun tempat pembayaran adalah kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak. Pembayar royalti melaporkan PPh Pasal 23 dengan menggunakan aplikasi e-Bupot PPh pasal 23 melalui laman pajak.go.id atau melalui application service provider (ASP) paling lama tanggal dua puluh bulan berikutnya.

Merek yang selaras dengan seluruh komponen bisnis menjadi suatu alat yang bisa mendongkrak kesuksesan suatu entitas perusahaan atau bisnis. Namun, merek itu akan menjadi lebih berwibawa ketika merek digunakan oleh suatu perusahaan yang ikut berkontribusi dalam memajukan negara melalui pembayaran pajak.

Pajak.go.id, 25 Juli 2022. “jangan asal bikin merek” https://pajak.go.id/id/artikel/jangan-asal-bikin-merek. [Diakses 08 Agustus  2022)